THORIQOH
semut pudak.PK267
assalamu’alaikum wr.wb
Thariqoh adalah salah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah
ada sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, perilaku
kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan
rujukan utama oleh para pengamal thariqoh dari generasi ke generasi sampai
kita sekarang.
Lihat saja, misalnya hadis yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah
berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin
Khatab RA. berkunjung ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika dia telah masuk di dalamnya, dia tertegun melihat isi rumah beliau,
yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang
kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba(tempat air)
yang biasa beliau gunakan unuk berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA.
yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang. Maka kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallammenegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu
menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak
menangis, Ya Rasulullah ? hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah
tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah
geriba, padahal di tangan tuan telah tergenggam kunci dunia timur dan dunia
barat, dan kemakmuran telah melimpah.” Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku
ini adalah Rasul Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan
seorang Kisra dari Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku
mengutamakan ukhrawi.”
Suatu hari Malaikat Jibril As. datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. setelah menyampaikan salam dari Allah Swt, dia bertanya: “Ya Muhammad,
manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman As atau
menjadi Nabi yang papa seperti Ayub As?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka
kenyang sehari dan lapar sehari. Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada
Allah Swt dan disana lapar aku bisa bersabar dengan ujian Allah Swt.”
Bahkan suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bertanya
kepada sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka
untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera
manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan
berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan
bermusuhan dengan sebagian yang lainnya. Jumlah kalian banyak tetapi kalian
lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan
anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya
Rasulullah.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsegera menjawabnya: ”Karena
pada itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi
kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan
kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian!”
Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamtersebut
bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu
ikhbar bil mughayyabat(peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada
terhadap godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan.
Fitnah yang sangat besar terjadii di separoh terakhir masa pemerintahan
Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah,
dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki
kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan
pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat
kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan
oleh golongan Khawarij, Syiah,dan Zuhhad.
Hanya saja ada perbedaan diantara mereka. Kedua golongan yang pertama
memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan,
sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali
kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan
keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan
rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api
fitnah, iri dengki dan dendam.
Meskipun saat itu Daulat Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di
dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika
di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya
mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah
Bani Abasiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan
mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan
anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas. Semua itu dikarenakan fakor hubb al-dunya(cinta dunia) dan karahiyat
al-maut(takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan
lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami
kegersangan. Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad.
Golongan Zuhhad inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan buku ini,
karena gerakan-gerakannya mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar dan
mendekatkan diri pada Allah ‘Azza wa jalla.
Gerakan yang muncul di akhir abad per enam hijriyyah ini, pada mulanya meupakan
kegiaan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa
mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridla Allah Swt, agar idak
terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Karenayna,
pada saa itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang- orang yang
berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran
agama) atau “Ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah).
Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang
menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu
berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah
yang sebenar-benarnya, melalui riyadlah(laku pihatin), mujahadah(perjuangan
batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah(tersingkapna tabir antara diriyna dan
Allah), musyahadah(penyaksian terhadap keberadaan Allah). Atau dengan istilah
lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan “takhalli” yaitu
mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu “tahalli”, yaitu menghiasi
hati dengan sifat yang terpuji, lalu “tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan
dari Allah Swt. Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang
di kalangan masarakat Muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan
tersendiri, yang dikenal dengan ilmu “Tashawuf.”
Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan
dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thariqoh” yang tampilan
bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu,
yaitu sekumpulan akidah-akidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi
kaum Sufi. Pada saat itu disebut “Thariqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi)
menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thariqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode
orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran. Yang pertama lebih menekankan
pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan(bukti
nyata/empiris). Isilah “thariqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu
pembibingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada
muridyna. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak
kalangan, ketika mendengarkan kata “thariqoh.”
Pada perkembangan berikutyna, terjadi perbedaan diantara tokoh Sufi di dalam
menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu
Allah Swt dan ridlanya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari
tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke
nafsu muthmainah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian ke tingkat nafsu radliyah,
lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang
mengguanakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang
menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni
melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thariqoh yang
mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah,
Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah,
Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya
wa’alaikum salam wr.wb