Selasa, 26 November 2013

THORIQOH

semut pudak.PK267

assalamu’alaikum wr.wb

Thariqoh adalah salah satu tradisi keagamaan dalam Islam yang  sebenarnya sudah
ada sejak zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa  sallam.  Bahkan, perilaku
kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan  rohani yang dijadikan
rujukan utama oleh para pengamal thariqoh dari  generasi ke generasi  sampai
kita sekarang.

Lihat saja,  misalnya hadis  yang meriwayatkan bahwa ketika Islam  telah
berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran,  sahabat Umar bin
Khatab RA. berkunjung ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa  sallam.
Ketika dia telah masuk di dalamnya, dia tertegun  melihat isi rumah  beliau,
yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan  daun kurma yang
kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah  sebuah geriba(tempat air)
yang  biasa beliau gunakan unuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA.
yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang. Maka kemudian  Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallammenegurnya: ”Gerangan apakah yang  membuatmu
menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana  aku tidak
menangis, Ya Rasulullah ? hanya seperti ini keadaan yang  kudapati di rumah
tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan  kecuali sebuah meja dan sebuah
geriba, padahal di tangan tuan telah  tergenggam kunci dunia timur dan dunia
barat, dan kemakmuran telah  melimpah.” Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku
ini adalah Rasul Allah.  Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan
seorang  Kisra dari  Persia. Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku
mengutamakan ukhrawi.”
Suatu hari Malaikat Jibril As. datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.  setelah menyampaikan salam dari Allah Swt, dia bertanya: “Ya Muhammad,
manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman  As atau
menjadi Nabi yang papa seperti Ayub As?” Beliau menjawab: ”Aku  lebih suka
kenyang sehari dan lapar sehari. Disaat kenyang, aku bisa  bersyukur kepada
Allah Swt dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan  ujian Allah Swt.”
Bahkan suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bertanya
kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah  terbuka
untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya  ada yang segera
manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya  Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Tetapi beliau segera menukas:  ”Pada saat itu kalian akan
berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan  berpecah belah, sebagian kalian akan
bermusuhan dengan sebagian yang  lainnya. Jumlah kalian banyak tetapi kalian
lemah, laksana buih di  lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan
anai-anai! ”Para  sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya
Rasulullah.”  Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsegera menjawabnya: ”Karena
pada itu  hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi
kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan
kemegahan  pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian!”
Apa yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamtersebut
bukanlah  ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu
ikhbar  bil  mughayyabat(peringatan) kepada umatnya agar benar-benar  waspada
terhadap  godaan dan tipu daya dunia.
Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu  menjadi kenyataan.
Fitnah yang sangat besar terjadii di separoh terakhir  masa pemerintahan
Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di  zaman Daulah Bani Umayyah,
dimana sistem pemerintahan telah mirip  dengan  kerajaan. Penguasa memiliki
kekuasaan yang tak terbatas, yang  cenderung lebih mengutamakan kepentingan
pribadi mereka, keluarga atau  kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat
kebanyakan. Dan akhirnya  berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan
oleh golongan  Khawarij, Syiah,dan Zuhhad.
Hanya saja ada perbedaan diantara mereka. Kedua golongan yang  pertama
memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut  kekuasaan dan jabatan,
sementara golongan terakhir untuk mengingatkan  para penguasa agar kembali
kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan  rohani, serta untuk menumbuhkan
keadilan yang merata bagi warga  masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan
rohani yang terjaga dan  terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api
fitnah, iri dengki dan  dendam.
Meskipun  saat itu Daulat Bani Umayyah merupakan pemerintahan  yang terbesar di
dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari  daratan Asia dan Afrika
di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di  bagian barat, pada akhinya
mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib  yang sama juga dialami oleh Daulah
Bani Abasiyah. Meskipun saat itu  jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan
mereka sangat besar,  tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan
anai-anai,  sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas.  Semua itu dikarenakan fakor hubb al-dunya(cinta dunia) dan karahiyat
al-maut(takut menghadapi  kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan
lahiriyah/duniawi,  sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami
kegersangan.  Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad.
Golongan Zuhhad inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam  penulisan buku ini,
karena gerakan-gerakannya mengajak kembali kepada  ajaran Islam yang benar dan
mendekatkan diri pada Allah ‘Azza wa jalla.
Gerakan yang muncul di akhir abad per enam hijriyyah ini, pada  mulanya meupakan
kegiaan sebagian  kaum Muslimin yang semata-mata  berusaha mengendalikan jiwa
mereka dan menempuh cara hidup untuk  mencapai ridla Allah Swt, agar idak
terpengaruh dan terpedaya oleh  tipuan dan godaan duniawi (materi). Karenayna,
pada saa itu mereka lebih  dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang- orang yang
berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang  berusaha melakukan segala ajaran
agama) atau “Ubbad” (orang yang rajin  melaksanakan ibadah).
Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian  berkembang
menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan  lebih mendalam yaitu
berkehendak mencapai hakekat  ketuhanan dan  ma’rifat (mengenal) kepeda Allah
yang sebenar-benarnya, melalui riyadlah(laku pihatin), mujahadah(perjuangan
batin  yang sungguh-sungguh), mukasyafah(tersingkapna tabir antara diriyna  dan
Allah), musyahadah(penyaksian terhadap keberadaan Allah). Atau  dengan istilah
lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan “takhalli” yaitu
mengosongkan  hati dari sifat-sifat tercela, lalu “tahalli”, yaitu menghiasi
hati dengan sifat  yang terpuji, lalu “tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan
dari Allah Swt.  Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang
di  kalangan masarakat Muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan
tersendiri, yang dikenal dengan ilmu “Tashawuf.”
Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah,  sebagai kelanjutan
dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah  “Thariqoh” yang tampilan
bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit  menunjuk pada suatu yang tertentu,
yaitu sekumpulan akidah-akidah,  akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi
kaum Sufi. Pada saat itu  disebut “Thariqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Sufi)
menjadi  penyeimbang terhadap sebutan “Thariqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode
orang-orang  yang menggunakan akal dan pikiran. Yang pertama lebih menekankan
pada  dzauq (rasa), sementara yang  kedua lebih menekankan pada burhan(bukti
nyata/empiris). Isilah “thariqoh“  terkadang digunakan untuk menyebut suatu
pembibingan pribadi dan  perilaku yang dilakukan oleh seorang mursyid kepada
muridyna. Pengertian  terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak
kalangan, ketika  mendengarkan kata “thariqoh.”
Pada perkembangan berikutyna, terjadi perbedaan diantara tokoh  Sufi di dalam
menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai  tujuan utamanya, yaitu
Allah Swt dan ridlanya. Ada yang menggunakan  metode latihan-latihan jiwa, dari
tingkat terendah, yaitu  nafsu ammarah, ke tingkat  nafsu lawwamah, terus ke
nafsu muthmainah, lalu ke nafsu  mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu  radliyah,
lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang
mengguanakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang
menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni
melanggengkan  dzikir dan senantiasa mengingat Allah dalam keadaan apapun.
Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran  thariqoh yang
mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut,  seperti Qodiriyah,
Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah,  Zainiyyah, Tijaniyyah,
Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya

wa’alaikum salam wr.wb